Beberapa bulan yang lalu saya
diajak teman saya, Ebi, untuk makan di salah satu warung makan. Dari
bangunannya bisa ditebak, warung itu baru selesai dibangun. Dindingnya terbuat
dari papan dan anyaman bambu dengan atap berbahan seng, tanpa jendela. Waktu
itu Ebi yang memang tahu saya sangat suka lotek, mengajak saya mencicipi lotek
di warung makan itu karena di Jatinangor penjual lotek memang sangat jarang.
Kalaupun ada, hanya di satu-dua tempat saja dan rasanya tidak begitu enak
menurut kami.
Tidak disangka, hari itu membawa saya kepada sebuah kisah penuh makna, yang memberikan saya pelajaran berharga.
Tidak disangka, hari itu membawa saya kepada sebuah kisah penuh makna, yang memberikan saya pelajaran berharga.
Kami memesan 2 porsi
lotek dengan nasi untuk makan malam hari itu. Singkat cerita 2 porsi sesayuran
itu sudah tersaji di hadapan kami belum dengan nasi. Si Ibu mengambil 2 piring
nasi lalu mengantarkannya ke meja kami. Uniknya beliau tiba-tiba bicara pada saya dan Ebi "Neng,
ini kalau nasinya kurang, nanti ambil aja ya disitu. Nambah aja neng nggak
apa-apa sekenyangnya." Waduh, baru kali itu saya makan di luar dan disuruh
'nambah aja nasinya sampai kenyang' dengan cuma-cuma. Kami cuma tertawa
"Wah, hahaha, Ibu ini nasinya banyak banget. Kita satu piring aja berdua,
Bu."
Setelah selesai makan dan akan
pulang, kami pun membayar. Di etalase tertera harga lotek dengan nasi adalah
6000 rupiah. Maka saya keluarkan selembar uang 10.000-an dan dua lembar uang
seribuan. Uniknya lagi tiba-tiba Si Ibu bilang "Ah Eneng makan nasinya
sedikit, udah yang 2000 disimpen. 10.000 aja, Neng!" Akhrinya setelah masa
tawar menawar yang rumit kami pun pulang dan mengalah pada beliau yang maunya
cuma dibayar Rp 10.000.
Karena loteknya enak, jadilah
saya yang pecinta lotek ini hampir setiap hari makan di warung Si Ibu. Suatu
sore, saya datang ke sana sendirian. Hari sedang hujan dan jalanan sepi. Di
dalam warung hanya ada saya dan Si Ibu. Bapak, suami Ibu, kabarnya sedang
pulang ke Ciamis. Saat sedang makan, Ibu lotek menghampiri meja saya dan
mengajak saya ngobrol.
Saya baru tahu, ternyata beliau
punya 4 anak yang kesemuanya sudah menikah, punya 3 cucu yang masih
kecil-kecil. Sedihnya, dari perbincangan itu saya baru tahu kalau tempat
itu-tempat saya makan-ternyata bukan hanya warung, tapi juga rumahnya. Iya,
rumah. Saya kaget. Bangunan 4x4 meter ini yang dindingnya terbuat dari papan
dan anyaman bambu, yang atapnya terbuat dari seng, lantainya bahkan masih tanah
yang belum disemen, tanpa jendela, adalah rumah tinggalnya bersama sang suami.
"Kemarin pas Neng makan siang disini, ada anak kecil botak, itu cucu saya,
Neng. Dia bilang 'Uti ini rumah Uti? Kok jelek sekali Uti? Uti tidurnya di
tanah nggak pake kasur?', aduh saya sedih neng." Si Ibu mulai menangis.
Hari itu Ibu Lotek menceritakan
semuanya, sebab dia berada di Jatinangor, membuat warung itu dan tinggal di
dalamnya. Dulu suaminya kaya raya. Mereka dulu bahkan punya rumah yang
dijadikan tempat kost, kontrakan beberapa pintu, 1 pabrik tahu, dan 1 pabrik
kerupuk. Suatu ketika Si Bapak khilaf dan punya wanita idaman lain. Maka semua
harta bendanya, rumah kost, usaha kontrakan, pabrik tahu dan pabrik kerupuk,
habis tidak bersisa. Tinggalah mereka yang terbelit hutang jutaan rupiah. Yang
membuat saya terenyuh, setelah sakit hati diperlakukan demikian oleh Bapak,
Beliau sama sekali tidak marah dan meninggalkan Bapak. "Saya bisa aja
neng, pulang ke rumah bapak saya dan pisah sama suami saya. Tapi saya kasihan
sama Bapak. Dia khilaf, harta habis semuanya, hutang dimana-mana. Jadi saya
tetap nemenin bapak. Saya cari uang sebisa saya. Saya bisa masak soto, ya saya
jualan soto. Sayangnya waktu itu jualan soto di Ciamis malah rugi. Akhirnya
saya jual lotek. Pas dijalanin ternyata tetep susah. Akhirnya saya nggak tau
lagi harus gimana. Usaha tutup, uang kita waktu itu hampir habis dan saya takut
mulai usaha lagi."
"Alhamdulillah, pertolongan
Allah datang neng. Waktu itu saya sedang di terminal. Ada laki-laki yang
daritadi ngikutin saya terus di belakang. Saya ketakutan akhirnya lari, eh dia
ikut lari. Akhirnya saya berhenti dan nyamperin orang itu. Dia malah bilang
'Bu, maaf, saya ini sebenernya bukan orang jahat. Saya tau Ibu orang baik
makanya saya ikutin. Saya mau pulang ke Brebes, Bu, tapi ongkos saya kurang.
Boleh nggak, Bu, saya pinjam uang Ibu 5000 aja? Tapi saya nggak tau
ngembaliinnya kapan'. Aduh neng saya sediiiih, saya juga punya anak laki-laki
seumuran dia, saya bilang ‘kenapa nggak bilang aja daritadi, Cep?’ Akhrinya
saya kasih dia uang seada-adanya di dompet saya, Neng. Sayang waktu itu cuma
ada 15.000, ya saya kasih. Dia sampe sujud-sujud saya kasih segitu. Sebulan
kemudian ada orang nyamperin rumah saya di Ciamis, pake mobil bak, isinya
bawang berkarung-karung sama sembako. Dia bilang 'Ibu, ini buat ibu semuanya'.
Saya bilang ‘Cep, ini mah salah. Saya nggak punya saudara orang Brebes. Ini
bukan buat saya.’ Terus dia malah bilang ‘Ibu inget nggak dulu saya yang di
terminal dipinjemin ibu uang 15.000?' Ya Allah, Neng saya kaget tapi seneng
ketemu dia lagi. Ternyata orangnya baik. Saya terus ditawarin sewa lahan usaha
di Jatinangor, ya disini ini. Saya sama Bapak pindah kesini, terus langsung
bikin gubuk ini. Uang saya habis sehabis-habisnya Neng buat buka warung ini.
Makanya saya juga nerima katering. Alhamdulillah dari jualan dan katering saya
bisa hidup. Kalau ada acara-acara, Orang-orang kecamatan pasti pesen
kateringnya di saya. Orang-orang ABRI juga, yang saya nggak tau mereka itu tau
saya darimana, malah sering banget pesen di saya. Sekali pesen rata-rata 600
bungkus."
Si Ibu masih berlinangan air
mata. Saya pun menimpali "Iya, Bu. Ibu kan orang baik, Bu. Saya aja seneng
makan disini karena Ibu sama Bapak baik banget. Mana ada orang makan di warung
selalu diajak ngobrol, ditanyain 'tadi kuliah neng?', 'Kenapa kemarin ga
keliatan?', Terus kalau ketauan saya lagi puasa loteknya dibikinin ekstra,
malah lagi makan sampe ditanyain 'Neng minumnya kurang? Diambilin lagi ya neng
ya. Neng nasinya abis duluan, atuh nambah lagi biar kenyang!'. Saya aja kalau
makan disini serasa makan di rumah sendiri, Bu. Ibu mah orang baik, jadi Insya
Allah jalannya juga baik. Yang sabar aja Bu. Insya Allah nanti mah keliatan
hasilnya."
Bukannya reda, Tangis beliau
malah makin tumpah. Beliau kemudian menepuk-nepuk pundak saya "Iya neng,
makasih ya, Neng. Ya mungkin jalannya emang harus gini dulu ya Neng. Semoga
Neng juga dilancarin kuliahnya. Cepet jadi sarjana, kerja, sukses, dapet suami
baik, soleh. Nanti jangan lupa sama Ibu disini, yang sering-sering main."
Akhirnya semalaman saya habiskan
di warung lotek beliau dengan berbagi cerita.
Sejak saat itu minimal 3 hari
sekali saya makan disana. Si Ibu dan Bapak sampai hafal tiap kesana saya pesan
apa: “Lotek mentah, cikurnya dikurangi, agak manis, pedesnya sedeng aja,
Timunnya jangan banyak-banyak.”. Beliau-beliau tetap bertanya 'Neng kemana aja
baru keliatan?' kalau sudah 3 hari belum ke tempatnya. Saya juga akhirnya
merekomendasikan lotek si Ibu kepada teman-teman saya. Alhamdulillah kebanyakan
dari mereka suka, kemudian sering datang, bahkan kembali membawa teman-teman
yang lain.
Beliau adalah profil salah satu
orang berhati emas yang berjuang banting tulang menata kembali kehidupannya
dengan cara-cara yang halal dan mulia. Bahkan sebenarnya diluar cerita di atas,
masih banyak cerita-cerita dari Ibu lotek yang membuat saya berdecak kagum atas
ketulusan hatinya. Saya jadi sering tertampar. Saya yang sebenarnya diberikan
Allah rejeki yang melimpah, masih saja mengeluhkan kekurangan-kekurangan yang
tidak seberapa.
Dari beliau saya belajar bahwa
roda kehidupan itu benar-benar berputar. Saat ini bisa saja kita berada di
puncak dengan gelimang kenikmatan yang membuat kita buta bahwa sebenarnya bisa
saja esok hari itu semua hilang tanpa sisa, dan kita diharuskan terseret-seret
untuk kembali mendapatkannya.
Dari beliau saya belajar kemurahan
hati dan kebaikan budi pekerti, yang entah kapan, entah di dunia atau nanti di kehidupan
setelahnya, pasti akan dibalas Tuhan dengan setimpal.
Dari beliau saya belajar
mengikhlaskan, memaafkan dengan tulus walaupun telah disakiti sedemikian rupa.
Seperti pohon mangga yang dilempari batu namun membalasnya dengan buah yang
tumbuh manis.
Dari beliau saya belajar bahwa sekurang
apapun kita, kita tetap masih dapat memberi banyak hal pada orang lain tanpa
membuat diri kita sendiri rugi.
Dari beliau saya banyak belajar
bahwa perbuatan baik kepada orang lain akan selalu mengundang kebaikan itu
kembali kepada kita.
Sebuah pelajaran hidup, yang
bahkan tidak saya dapatkan dari salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di
negara ini.
Terimakasih, Bu. :)
0 komentar:
Posting Komentar