Jumat, 24 Mei 2013

Satu Lagi, Pelajaran Hidup.

Diposting oleh Unknown di 04.16
Beberapa bulan yang lalu saya diajak teman saya, Ebi, untuk makan di salah satu warung makan. Dari bangunannya bisa ditebak, warung itu baru selesai dibangun. Dindingnya terbuat dari papan dan anyaman bambu dengan atap berbahan seng, tanpa jendela. Waktu itu Ebi yang memang tahu saya sangat suka lotek, mengajak saya mencicipi lotek di warung makan itu karena di Jatinangor penjual lotek memang sangat jarang. Kalaupun ada, hanya di satu-dua tempat saja dan rasanya tidak begitu enak menurut kami.

Tidak disangka, hari itu membawa saya kepada sebuah kisah penuh makna, yang memberikan saya pelajaran berharga.

Kami memesan 2 porsi lotek dengan nasi untuk makan malam hari itu. Singkat cerita 2 porsi sesayuran itu sudah tersaji di hadapan kami belum dengan nasi. Si Ibu mengambil 2 piring nasi lalu mengantarkannya ke meja kami. Uniknya beliau  tiba-tiba bicara pada saya dan Ebi "Neng, ini kalau nasinya kurang, nanti ambil aja ya disitu. Nambah aja neng nggak apa-apa sekenyangnya." Waduh, baru kali itu saya makan di luar dan disuruh 'nambah aja nasinya sampai kenyang' dengan cuma-cuma. Kami cuma tertawa "Wah, hahaha, Ibu ini nasinya banyak banget. Kita satu piring aja berdua, Bu."

Setelah selesai makan dan akan pulang, kami pun membayar. Di etalase tertera harga lotek dengan nasi adalah 6000 rupiah. Maka saya keluarkan selembar uang 10.000-an dan dua lembar uang seribuan. Uniknya lagi tiba-tiba Si Ibu bilang "Ah Eneng makan nasinya sedikit, udah yang 2000 disimpen. 10.000 aja, Neng!" Akhrinya setelah masa tawar menawar yang rumit kami pun pulang dan mengalah pada beliau yang maunya cuma dibayar Rp 10.000.

Karena loteknya enak, jadilah saya yang pecinta lotek ini hampir setiap hari makan di warung Si Ibu. Suatu sore, saya datang ke sana sendirian. Hari sedang hujan dan jalanan sepi. Di dalam warung hanya ada saya dan Si Ibu. Bapak, suami Ibu, kabarnya sedang pulang ke Ciamis. Saat sedang makan, Ibu lotek menghampiri meja saya dan mengajak saya ngobrol.

Saya baru tahu, ternyata beliau punya 4 anak yang kesemuanya sudah menikah, punya 3 cucu yang masih kecil-kecil. Sedihnya, dari perbincangan itu saya baru tahu kalau tempat itu-tempat saya makan-ternyata bukan hanya warung, tapi juga rumahnya. Iya, rumah. Saya kaget. Bangunan 4x4 meter ini yang dindingnya terbuat dari papan dan anyaman bambu, yang atapnya terbuat dari seng, lantainya bahkan masih tanah yang belum disemen, tanpa jendela, adalah rumah tinggalnya bersama sang suami. "Kemarin pas Neng makan siang disini, ada anak kecil botak, itu cucu saya, Neng. Dia bilang 'Uti ini rumah Uti? Kok jelek sekali Uti? Uti tidurnya di tanah nggak pake kasur?', aduh saya sedih neng." Si Ibu mulai menangis.

Hari itu Ibu Lotek menceritakan semuanya, sebab dia berada di Jatinangor, membuat warung itu dan tinggal di dalamnya. Dulu suaminya kaya raya. Mereka dulu bahkan punya rumah yang dijadikan tempat kost, kontrakan beberapa pintu, 1 pabrik tahu, dan 1 pabrik kerupuk. Suatu ketika Si Bapak khilaf dan punya wanita idaman lain. Maka semua harta bendanya, rumah kost, usaha kontrakan, pabrik tahu dan pabrik kerupuk, habis tidak bersisa. Tinggalah mereka yang terbelit hutang jutaan rupiah. Yang membuat saya terenyuh, setelah sakit hati diperlakukan demikian oleh Bapak, Beliau sama sekali tidak marah dan meninggalkan Bapak. "Saya bisa aja neng, pulang ke rumah bapak saya dan pisah sama suami saya. Tapi saya kasihan sama Bapak. Dia khilaf, harta habis semuanya, hutang dimana-mana. Jadi saya tetap nemenin bapak. Saya cari uang sebisa saya. Saya bisa masak soto, ya saya jualan soto. Sayangnya waktu itu jualan soto di Ciamis malah rugi. Akhirnya saya jual lotek. Pas dijalanin ternyata tetep susah. Akhirnya saya nggak tau lagi harus gimana. Usaha tutup, uang kita waktu itu hampir habis dan saya takut mulai usaha lagi."

"Alhamdulillah, pertolongan Allah datang neng. Waktu itu saya sedang di terminal. Ada laki-laki yang daritadi ngikutin saya terus di belakang. Saya ketakutan akhirnya lari, eh dia ikut lari. Akhirnya saya berhenti dan nyamperin orang itu. Dia malah bilang 'Bu, maaf, saya ini sebenernya bukan orang jahat. Saya tau Ibu orang baik makanya saya ikutin. Saya mau pulang ke Brebes, Bu, tapi ongkos saya kurang. Boleh nggak, Bu, saya pinjam uang Ibu 5000 aja? Tapi saya nggak tau ngembaliinnya kapan'. Aduh neng saya sediiiih, saya juga punya anak laki-laki seumuran dia, saya bilang ‘kenapa nggak bilang aja daritadi, Cep?’ Akhrinya saya kasih dia uang seada-adanya di dompet saya, Neng. Sayang waktu itu cuma ada 15.000, ya saya kasih. Dia sampe sujud-sujud saya kasih segitu. Sebulan kemudian ada orang nyamperin rumah saya di Ciamis, pake mobil bak, isinya bawang berkarung-karung sama sembako. Dia bilang 'Ibu, ini buat ibu semuanya'. Saya bilang ‘Cep, ini mah salah. Saya nggak punya saudara orang Brebes. Ini bukan buat saya.’ Terus dia malah bilang ‘Ibu inget nggak dulu saya yang di terminal dipinjemin ibu uang 15.000?' Ya Allah, Neng saya kaget tapi seneng ketemu dia lagi. Ternyata orangnya baik. Saya terus ditawarin sewa lahan usaha di Jatinangor, ya disini ini. Saya sama Bapak pindah kesini, terus langsung bikin gubuk ini. Uang saya habis sehabis-habisnya Neng buat buka warung ini. Makanya saya juga nerima katering. Alhamdulillah dari jualan dan katering saya bisa hidup. Kalau ada acara-acara, Orang-orang kecamatan pasti pesen kateringnya di saya. Orang-orang ABRI juga, yang saya nggak tau mereka itu tau saya darimana, malah sering banget pesen di saya. Sekali pesen rata-rata 600 bungkus."

Si Ibu masih berlinangan air mata. Saya pun menimpali "Iya, Bu. Ibu kan orang baik, Bu. Saya aja seneng makan disini karena Ibu sama Bapak baik banget. Mana ada orang makan di warung selalu diajak ngobrol, ditanyain 'tadi kuliah neng?', 'Kenapa kemarin ga keliatan?', Terus kalau ketauan saya lagi puasa loteknya dibikinin ekstra, malah lagi makan sampe ditanyain 'Neng minumnya kurang? Diambilin lagi ya neng ya. Neng nasinya abis duluan, atuh nambah lagi biar kenyang!'. Saya aja kalau makan disini serasa makan di rumah sendiri, Bu. Ibu mah orang baik, jadi Insya Allah jalannya juga baik. Yang sabar aja Bu. Insya Allah nanti mah keliatan hasilnya."

Bukannya reda, Tangis beliau malah makin tumpah. Beliau kemudian menepuk-nepuk pundak saya "Iya neng, makasih ya, Neng. Ya mungkin jalannya emang harus gini dulu ya Neng. Semoga Neng juga dilancarin kuliahnya. Cepet jadi sarjana, kerja, sukses, dapet suami baik, soleh. Nanti jangan lupa sama Ibu disini, yang sering-sering main."

Akhirnya semalaman saya habiskan di warung lotek beliau dengan berbagi cerita.

Sejak saat itu minimal 3 hari sekali saya makan disana. Si Ibu dan Bapak sampai hafal tiap kesana saya pesan apa: “Lotek mentah, cikurnya dikurangi, agak manis, pedesnya sedeng aja, Timunnya jangan banyak-banyak.”. Beliau-beliau tetap bertanya 'Neng kemana aja baru keliatan?' kalau sudah 3 hari belum ke tempatnya. Saya juga akhirnya merekomendasikan lotek si Ibu kepada teman-teman saya. Alhamdulillah kebanyakan dari mereka suka, kemudian sering datang, bahkan kembali membawa teman-teman yang lain.

Beliau adalah profil salah satu orang berhati emas yang berjuang banting tulang menata kembali kehidupannya dengan cara-cara yang halal dan mulia. Bahkan sebenarnya diluar cerita di atas, masih banyak cerita-cerita dari Ibu lotek yang membuat saya berdecak kagum atas ketulusan hatinya. Saya jadi sering tertampar. Saya yang sebenarnya diberikan Allah rejeki yang melimpah, masih saja mengeluhkan kekurangan-kekurangan yang tidak seberapa.

Dari beliau saya belajar bahwa roda kehidupan itu benar-benar berputar. Saat ini bisa saja kita berada di puncak dengan gelimang kenikmatan yang membuat kita buta bahwa sebenarnya bisa saja esok hari itu semua hilang tanpa sisa, dan kita diharuskan terseret-seret untuk kembali mendapatkannya.

Dari beliau saya belajar kemurahan hati dan kebaikan budi pekerti, yang entah kapan, entah di dunia atau nanti di kehidupan setelahnya, pasti akan dibalas Tuhan dengan setimpal.

Dari beliau saya belajar mengikhlaskan, memaafkan dengan tulus walaupun telah disakiti sedemikian rupa. Seperti pohon mangga yang dilempari batu namun membalasnya dengan buah yang tumbuh manis.

Dari beliau saya belajar bahwa sekurang apapun kita, kita tetap masih dapat memberi banyak hal pada orang lain tanpa membuat diri kita sendiri rugi.

Dari beliau saya banyak belajar bahwa perbuatan baik kepada orang lain akan selalu mengundang kebaikan itu kembali kepada kita.

Sebuah pelajaran hidup, yang bahkan tidak saya dapatkan dari salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di negara ini.

Terimakasih, Bu. :)


0 komentar:

Posting Komentar

 

Shindy Yulia Salsabila Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos