Minggu, 28 Juli 2013

Mereka, Petarung Hidup yang Sesungguhnya.

Diposting oleh Unknown di 02.14
Selalu ada sebuah kisah yang memilukan di tengah kehedonisan orang-orang urban di sekitar kita.
Kisah tentang orang-orang tua yang lusuh di sela kesibukan ibukota, yang duduk terpekur menanti rejeki di sepinya hidup di hari tuanya.

Ia tidak menengadahkan tangan sambil berdiam seperti orang-orang muda yang malas di sekitar lampu merah, ia tidak mencuri dengan mengancam orang dengan senjata tajam di tangannya, ia pun tidak membawa alat musik buatan dari kumpulan tutup botol yang dipukul-pukulkan dengan malas ke telapak tangannya, ia tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Yang ia tahu, ia berusaha.
Yang ia tahu, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuannya.


Teruntuk bapak tua yang duduk berteduh di sela-sela bayangan pagar di depan pusat perbelanjaan
dengan sebuah timbangan badan di sampingnya,
yang gigipun ia sudah tak punya,
yang kulitnya sudah legam terbakar matahari,
dengan tangannya yang lemah yang melambai-lambai kepada setiap orang di sekitarnya,
dan tatapan polosnya,
dengan suara paraunya ia berteriak
"Timbang badan.. seribu rupiah!"

Teruntuk seorang bapak tua berjalan terseok-seok di malam hari
di sekitaran mall terbesar di kota kami.
Dengan peci hitam yang lusuh dan berdebu di atas kepalanya,
dengan sebuah tas cokelat berlubang yang tergantung di bahu kanannya,
ia terus berjalan menelusur hiruk pikuk mobil-mobil mewah dan motor-motor besar mahal.
Dengan sebuah karton bekas yang ia gantungkan di lehernya ke depan tubuhnya yang ringkih
yang bertuliskan
"Terima pijat refleksi"

Teruntuk seorang bapak tua di selasar institut terbaik di negeri ini
ia duduk terpekur tanpa suara sedikitpun.
Badannya pun terlalu kecil untuk dapat terlihat dari balik tiang listrik tempatnya bersandar
ia lemah.
Mungkin ia sudah tidak makan sejak kemarin,
mungkin ia sudah tidak punya tenaga lagi untuk dapat terjaga,
dengan polosnya ia tinggalkan setumpuk barang di depannya.
Ia pun tertidur tanpa ada seorang pun yang memperdulikan dagangannya,
15 plastik amplop berisi sepuluh lembar per plastiknya.
Yang dijual 100 rupiah perlembarnya.

Dan untuk seorang bapak tua yang terduduk lesu di samping gerobak mie ayam terlaris di kota kami,
dengan kemeja batik tuanya yang ditambal di sana sini,
dengan plastik bening yang ia siapkan kalau-kalau Tuhan menurunkan hujan,
dengan tatapan kosongnya ia melihat ramainya perempatan jalan raya,
dengan liurnya yang terus ia telan karena lapar,
dengan rasa sabarnya menunggu sedikit barang di atas nampannya habis terjual
25 keping opak yang ia jual 200 rupiah per kepingnya.

Cinta Tuhan yang tak terperi mungkin telah tercurah untukmu.
Ia mungkin telah menyiapkan sekumpulan cahaya untuk kelak menghias wajah baikmu.

Ini cerita tentang kakek-kakek petarung tangguh di tengah gaharnya urbanitas dunia.
Ini cerita tentang ksatria dengan kejujuran penuh di dalam dada mereka.

“Bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.
 - Anonymous

1 komentar:

Fadqih on 13 Juli 2015 pukul 05.19 mengatakan...

kenapa baru sekarang liat blogmu ini mbak? kemana mas selama ini? baca tulisan mbak, mas jadi terharu sampai mau netesin air mata, tapi juga SEMANGAT yang membara buat berjuang menolong mereka kalo ketemu....

Posting Komentar

 

Shindy Yulia Salsabila Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos