Jumat, 19 Juli 2013

Tentang Satu Hal. Moral.

Diposting oleh Unknown di 03.43
Kurang apa sih negara kita ini? Sumber daya alam melimpah ruah, budaya beraneka ragam, keindahan alam terbentang di seluruh penjuru tanah airnya. Tapi mau berkembang kok kelihatannya susah.

Kata orang kita kena kutukan. Kutukan yang tidak bisa disembuhkan dengan obat-obatan antibiotika sekuat apapun. Tapi dalam dunia medis, kutukan jelas tidak logis. Maka rumusan diagnosa saya saat ini: Indonesia sedang sakit parah. Penyakit yang kian berkembang sejak mula berdirinya negara. Seperti benjolan yang dulu kecil kini tumbuh menjadi sel patologis raksasa. Dan penyakit itu menyerang organ vital kehidupan kita: MORAL.


Ya, Indonesia punya penyakit moral yang sangat parah.

Bagaikan kanker, penyakit ini menyerap kebaikan-kebaikan yang sudah ada untuk dipakai mengembangkan sel-nya yang berbahaya. Maka semakin hari, semakin gigantislah ia. Semakin terpuruklah kepribadian bangsa.

Telinga kita pastinya sudah demikian akrab dengan berita-berita pencucian uang dan penangkapan koruptor di televisi. Sampai bosan rasanya. Mulut pun sudah berbusa koar-koar mengutuk mereka.
"Semoga masuk neraka!"
"Yang seperti itu hukum mati sajalah!"
"Penjarapun masih terlalu bagus menampung dia!"
tapi tanpa sadar, sebenarnya banyak tunas-tunas yang berkembang di lingkungan sekitar kita. Sel-sel yang tumbuh subur dari kebohongan-kebohongan. Mulanya kecil, diniatkan untuk hal-hal sepele. Namun dari situlah bibit-bibit penyakit mulai berkembang.

Saya ingat cerita salah satu dosen favorit saya di kampus tentang paman beliau yang harus menjalani operasi pemasangan stent (semacam ring di jantung) untuk mencegah kekambuhan penyakit jantung koronernya.

Penyakit jantung koroner sendiri adalah kondisi dimana dinding pembuluh arteri yang memperdarahi jantung tersumbat oleh lemak trans sehingga darah tidak sampai ke kapiler. Dengan begitu, sel jantung tidak mendapatkan nutrisi dan oksigen sehingga dalam kurun waktu kurang dari setengah hari, sel tersebut mengalami kematian (dalam bahasa medis disebut infark) yang kemudian menghilangkan kemampuan jantung untuk memompakan darah. Inilah yang dikenal masyarakat luas dengan istilah 'serangan jantung'.

Stent yang dipasang berbentuk cincin kecil berdiameter 2,25-4mm yang nantinya dipasang di beberapa titik arteri yang dihinggapi lemak trans tersebut. Dengan terpasangnya cincin, maka darah dapat kembali melewati arteri untuk mengantarkan oksigen dan nutrisi ke kapiler.

Menurut dokter, paman beliau harus dioperasi secepatnya karena resiko yang dihadapi sangat besar. Paman beliau dan keluarganya sudah bersedia. Masalahnya, paman beliau merasa ragu menjalani operasi di rumah sakit lokal karena beberapa issue malpraktik yang saat itu sedang marak beredar.
Namun, setelah dibujuk oleh keluarga besarnya yang mayoritas bekerja sebagai dokter dan perawat, paman beliau bersedia menjalani operasi di sebuah rumah sakit negeri khusus jantung di Jakarta. Sepengetahuan saya, rumah sakit tersebut memang merupakan rumah sakit jantung paling tersohor di negara ini. Dengan peralatan yang sudah jauh lebih canggih dan paramedis-paramedis terbaik.

Biaya yang dihabiskan untuk operasi tersebut tidak main-main. Satu stent yang dipasang dihargai Rp 25juta. Dengan begitu, operasi tersebut setidaknya membutuhkan biaya Rp 75juta (belum dihitung dengan biaya obat-obatan, biaya rawat inap, dan lain-lain). Harga yang sangat mahal bagi masyarakat ekonomi menengah yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia.

Singkat cerita, operasi tersebut berjalan dengan baik. Beliau kini sudah merasa tenang dengan terpasangnya beberapa stent di dalam pembuluh darah di jantungnya. Namun ternyata beberapa bulan kemudian, hal yang ditakutkan terjadi. Beliau anfal. Jantung koronernya kambuh.
Keluarga beliau pun heran. Mengapa kekambuhan terjadi justru setelah paman beliau menjalani operasi?
Maka untuk berjaga-jaga, demi mendapatkan pelayanan tercepat, paman beliau akhirnya dibawa ke Malaysia untuk diperiksa. Disanalah sebuah fakta mengejutkan didapatkan. Stent yang terpasang di dalam pembuluh arteri di jantung beliau bukan berjumlah 3 buah, tapi hanya 1 buah.

Harga yang yang telah dibayarkan  adalah senilai 3 buah stent. Tapi yang dipasang pada saat operasi hanya satu buah! Kemanakah 2 buah stent lainnya?
Keterlaluan.
Coba bayangkan, operasi tersebut  merupakan operasi mayor yang melibatkan organ tubuh utama manusia dan situasi yang mengancam nyawa. Bagaimana bisa seseorang mempermainkannya? Bagaimana bisa hidup seseorang dipertaruhkan hanya untuk sebuah hasrat keji bermodus mencari kekayaan?

Cerita lain yang sama memprihatinkannya saya dapatkan dari seorang perawat bangsal di rumah sakit tempat saya belajar. Dari beliau saya tahu bahwa paramedis tidak selamanya baik.
Di bangsal perawatan, banyak diantara pasien yang mendapatkan obat-obatan dengan harga yang menurut saya mahal.  Tidak jarang saya menemukan satu vial obat yang isinya 10ml, namun harganya mencapai 2 juta rupiah. Menurut informasi yang saya dapatkan, banyak diantara obat-obatan tersebut sifatnya paten, bukan generik.
Perawat tersebut menceritakan bahwa seorang teman sejawatnya ada yang pernah dipergoki menyembunyikan obat pasien yang harganya sangat mahal, kemudian menukarnya dengan obat lain yang lebih murah. Penukaran itu dilakukan tanpa sepengetahuan pasien pemilik obat itu.
Obat yang disembunyikan tersebut kemudian dijual kepada pasien lain yang sedang membutuhkannya dengan harga yang lebih murah daripada harga pasar. Lalu, kemanakah uang hasil penjualannya? Tentu saja dinikmati sendiri.
Menyedihkan bukan?
Saya sendiri prihatin. Saat menuliskan cerita ini, entah berapa helaan napas kasar yang saya hembuskan.

Ternyata banyak cara kotor yang dilakukan oleh manusia-manusia tidak bertanggungjawab demi memenuhi keinginannya. Perbuatan-perbuatan seperti itu adalah hasil dari 'latihan'. Latihan yang dilakukan sejak muda, yang dimulai dari kelicikan-kelicikan kecil di kehidupan kita.
Mungkin kita pernah melihat orang-orang yang memalsukan tanda tangan demi kelancaran birokrasi untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan secara cepat.
Mungkin kita pernah ditunjukkan seorang teman yang membuat Surat Keterangan Tidak Mampu demi mendapatkan beasiswa, padahal kita tahu dia termasuk golongan menengah ke atas yang bahkan memakai fasilitas-fasilitas mewah dalam kehidupan sehari-harinya.
Ada pula yang memalsukan riwayat organisasi supaya lebih mulus melenggang saat wawancara beasiswa.
Nah, ketika beasiswa sudah di tangan, uangnya malah digunakan untuk membeli gadget mahal yang sudah lama diimpikan.
Ironis sekali. Apakah tidak ada sedikit pun hati nurani yang bicara tentang orang-orang yang lebih berhak mendapatkannya? Apakah pernah terpikirkan selintas tentang teman-teman kita yang tanpa uang itu, ia tidak lagi tahu bagaimana caranya meneruskan kuliah?
Atau malah tindakan-tindakan di atas, pernah dilakukan oleh kita sendiri?
Sayang sekali.

Ketika bertindak, sebaiknya pikirkanlah terlebih dahulu, apakah tindakan tersebut akan merugikan orang lain? Apakah sesuatu yang menjadi obsesi kita sebenarnya jauh lebih bermanfaat bila digunakan atau dijalani oleh orang lain? Pikirkanlah, bagaimana perasaan kita bila berada di posisi mereka.

Hati-hati. Tuhan selalu melihat kita.
Hati-hati. Segala sesuatunya akan dipertanggungjawabkan, kelak dihadapan-Nya.

Hati-hati.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Shindy Yulia Salsabila Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos