Rabu, 12 Juni 2013

Celotehan Anak Kemarin Sore: Harga BBM

Diposting oleh Unknown di 06.10
Seminggu terakhir ini media cetak, dan elektronik dibuat gempar oleh wacana kenaikan harga BBM yang isunya akan dicanangkan selambat-lambatnya tanggal 17 bulan ini. Ada yang pro, ada yang kontra. Jajaran pemerintah kekeuh menaikkan harga BBM, tapi pihak-pihak oposisi gencar melakukan penolakan. Baligo-baligo foto pemimpin daerah beraroma misi politik dipasang di pinggir-pinggir jalan dengan tulisan besar-besar "Menolak Kenaikan Harga BBM". Saya yang sedikit-sedikit mengikuti perkembangan pro-kontra ini jadi gemes sendiri. Maka izinkanlah saya yang masih hijau ini menyampaikan sedikit pendapat.


Tujuan jangka pendek dan jangka panjang harus selalu dibedakan. penentuan skala prioritas yang baik harus selalu dijunjung. Kalau sudah di ujung tanduk, maka terpaksa idealisme harus dikikis.
Ada istilahnya mundur selangkah untuk maju sepuluh langkah. Saya akan memberikan analogi sesuai dengan bidang perkuliahan yang saya geluti. Kalau pasien kritis, napas sudah apneu, heart rate sudah hilang timbul, tekanan darah jatuh bebas, jelas resusitasi harus dilakukan meski selalu dilematis dengan masalah etik, meski berbagai komplikasi menghantui.

Seperti juga keadaan APBN yang di ujung tanduk. Harus ada cara cepat untuk menstabilkannya lagi. Layaknya resusitasi jantung paru pada pasien kritis, maka menaikkan harga BBM dinilai sebagai cara paling masuk akal dan paling cepat untuk mencegah perekonomian Indonesia kolaps karena APBN yang defisit, walaupun komplikasi ke depannya (kenaikan harga jasa, sandang, pangan, dan papan) juga menghantui.

Seperti yang telah diketahui, Ketidakadekuatan APBN kali ini (lagi-lagi) merupakan akumulasi dari defisit di tahun-tahun sebelumnya karena masalah subsidi energi yang dinilai menyalahi aturan, menimbulkan kecenderungan penyelundupan BBM dan sebagainya, dan sebagainya (rujukan: klik disini), menyebabkan pemerintah harus mengambil langkah cepat untuk memulihkan sumber keuangan negara seperti sediakala.

Saat genting seperti ini yang dibutuhkan adalah action. Pemikirkan idealis seperti "Kalau dinaikin harganya untuk nyelamatin APBN, tetep aja nanti dikorupsi lagi", "Nggak usah lho, BBM naik! Kan bisa harga cukai rokok dinaikkan!" atau "Kan bisa kita potong impor ini dan itu", sepertinya tidak bisa bekerja. Coba telaah dulu, bandingkan urgensi penyelamatan APBN ini dengan lamanya waktu real yang dibutuhkan untuk memberantas korupsi, menaikkan harga cukai rokok, atau penghentian impor yang jelas-jelas birokrasinya berbelit dan tidak sebentar. Pemberantasan korupsi, itu mesti. Kenaikan cukai rokok, itu wajib. Pembatasan impor, itu harus. Harus, secepatnya, agar kedepannya kita tidak lagi ribut BBM mesti naik gara-gara APBN kembali megap-megap. Namun kembali lagi pada masalah realisasinya. Akan selama apa sampai itu bisa selesai?

Masa lalu yang menimbulkan ancaman di masa sekarang harus jadi pelajaran, dan masa depan harus ditata sebaik-baiknya. Penyebab APBN lagi-lagi jatuh harus dikoreksi esok hari. Perencanaan ekonomi Indonesia harus lebih matang lagi setelah ini. Tapi kini APBN sedang bergelantung di ujung jurang. Maka maafkanlah bila hari ini idealisme resmi dilumpuhkan oleh realisme. Saya mendukung rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Namun penyebab anjloknya APBN ini tetap harus dijadikan pelajaran sehingga kedepannya tidak lagi terjadi kisruh tentang ini, dan usaha-usaha untuk memaksimalkan APBN di tahun-tahun berikutnya juga harus dilaksanakan dengan optimal.

Demi ekonomi Indonesia yang tidak kolaps.

Demi Indonesia yang lebih baik.

*Semoga tulisan ini nggak bikin saya digebukin orang sekampung*

0 komentar:

Posting Komentar

 

Shindy Yulia Salsabila Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos