Seminggu terakhir ini media cetak, dan elektronik dibuat gempar oleh
wacana kenaikan harga BBM yang isunya akan dicanangkan
selambat-lambatnya tanggal 17 bulan ini. Ada yang pro, ada yang
kontra. Jajaran pemerintah kekeuh menaikkan harga BBM, tapi pihak-pihak
oposisi gencar melakukan penolakan. Baligo-baligo foto pemimpin daerah
beraroma misi politik dipasang di pinggir-pinggir jalan dengan tulisan
besar-besar "Menolak Kenaikan Harga BBM". Saya yang sedikit-sedikit mengikuti
perkembangan pro-kontra ini jadi gemes sendiri. Maka izinkanlah saya
yang masih hijau ini menyampaikan sedikit pendapat.
Tujuan
jangka pendek dan jangka panjang harus selalu dibedakan. penentuan skala
prioritas yang baik harus selalu dijunjung. Kalau sudah di ujung
tanduk, maka terpaksa idealisme harus dikikis.
Ada istilahnya
mundur selangkah untuk maju sepuluh langkah. Saya akan memberikan
analogi sesuai dengan bidang perkuliahan yang saya geluti. Kalau pasien
kritis, napas sudah apneu, heart rate sudah hilang timbul, tekanan darah
jatuh bebas, jelas resusitasi harus dilakukan meski selalu dilematis
dengan masalah etik, meski berbagai komplikasi menghantui.
Seperti
juga keadaan APBN yang di ujung tanduk. Harus ada cara cepat untuk
menstabilkannya lagi. Layaknya resusitasi jantung paru pada pasien
kritis, maka menaikkan harga BBM dinilai sebagai cara paling masuk akal
dan paling cepat untuk mencegah perekonomian Indonesia kolaps karena
APBN yang defisit, walaupun komplikasi ke depannya (kenaikan harga jasa,
sandang, pangan, dan papan) juga menghantui.
Seperti yang telah diketahui, Ketidakadekuatan APBN kali ini (lagi-lagi) merupakan akumulasi dari defisit di tahun-tahun sebelumnya karena masalah subsidi energi yang dinilai menyalahi aturan, menimbulkan kecenderungan penyelundupan BBM dan sebagainya, dan sebagainya (rujukan: klik disini), menyebabkan pemerintah harus mengambil langkah cepat untuk memulihkan sumber keuangan negara seperti sediakala.
Seperti yang telah diketahui, Ketidakadekuatan APBN kali ini (lagi-lagi) merupakan akumulasi dari defisit di tahun-tahun sebelumnya karena masalah subsidi energi yang dinilai menyalahi aturan, menimbulkan kecenderungan penyelundupan BBM dan sebagainya, dan sebagainya (rujukan: klik disini), menyebabkan pemerintah harus mengambil langkah cepat untuk memulihkan sumber keuangan negara seperti sediakala.
Saat genting seperti
ini yang dibutuhkan adalah action. Pemikirkan idealis seperti "Kalau
dinaikin harganya untuk nyelamatin APBN, tetep aja nanti dikorupsi
lagi", "Nggak usah lho, BBM naik! Kan bisa harga cukai rokok dinaikkan!"
atau "Kan bisa kita potong impor ini dan itu", sepertinya tidak bisa
bekerja. Coba telaah dulu, bandingkan urgensi penyelamatan APBN ini
dengan lamanya waktu real yang dibutuhkan untuk memberantas korupsi,
menaikkan harga cukai rokok, atau penghentian impor yang jelas-jelas
birokrasinya berbelit dan tidak sebentar. Pemberantasan korupsi, itu
mesti. Kenaikan cukai rokok, itu wajib. Pembatasan impor, itu harus.
Harus, secepatnya, agar kedepannya kita tidak lagi ribut BBM mesti naik
gara-gara APBN kembali megap-megap. Namun kembali lagi pada masalah realisasinya. Akan selama apa sampai itu bisa selesai?
Masa lalu yang menimbulkan
ancaman di masa sekarang harus jadi pelajaran, dan masa depan harus
ditata sebaik-baiknya. Penyebab APBN lagi-lagi jatuh harus dikoreksi
esok hari. Perencanaan ekonomi Indonesia harus lebih matang lagi setelah
ini. Tapi kini APBN sedang bergelantung di ujung jurang. Maka
maafkanlah bila hari ini idealisme resmi dilumpuhkan oleh realisme. Saya
mendukung rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Namun penyebab
anjloknya APBN ini tetap harus dijadikan pelajaran sehingga kedepannya
tidak lagi terjadi kisruh tentang ini, dan usaha-usaha untuk
memaksimalkan APBN di tahun-tahun berikutnya juga harus dilaksanakan
dengan optimal.
Demi ekonomi Indonesia yang tidak kolaps.
Demi Indonesia yang lebih baik.
*Semoga tulisan ini nggak bikin saya digebukin orang sekampung*
0 komentar:
Posting Komentar